Opini – Ada yang lebih menarik dari dugaan korupsi dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Sumenep: yakni pertunjukan panjang Maruarar Sirait di depan publik.
Alih-alih mendorong proses hukum secara elegan dan efisien, Maruarar memilih jalan teatrikal: mengundang Ketua Banggar DPR, Bupati Sumenep, awak media, bahkan menelpon Kejaksaan Agung secara langsung di depan kamera. Kalau saja disiapkan naskahnya, ini sudah layak masuk FFI kategori “Film Dokumenter Politik Paling Dramatis.”
Masalah utamanya bukan soal keinginan memberantas korupsi—itu mulia. Tapi ketika semangat memberantas itu dibungkus dengan narasi hiperbolik, dibumbui klaim-klaim meledak tanpa data kuat, kita mulai bertanya: ini teater untuk rakyat atau panggung buat satu tokoh?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti ketika Maruarar mengklaim kerugian negara Rp108 miliar. Padahal, angka itu bukan hasil audit investigatif BPK atau BPKP. Itu adalah total dana program BSPS yang dikucurkan, bukan kerugian akibat korupsi. Jadi, mana datanya? Mana auditnya? Mana hasil investigasi inspektorat yang bisa diuji publik?
Kalau betul ingin serius membongkar, serahkan saja temuannya ke penegak hukum. Minta BPKP turun audit investigatif. Laporkan secara resmi ke Kejaksaan Agung, minta supervisi, dan biarkan hukum bekerja. Tapi Maruarar lebih memilih menelpon Kejagung pakai loudspeaker—di depan wartawan. Sebuah langkah hukum atau justru atraksi untuk menciptakan kesan?
Lalu, muncul deklarasi penuh semangat: “Saya anak buah Prabowo!” dengan gaya seolah sedang bersumpah setia di depan pasukan. Yang lain? Mungkin dianggap anak buah siapa saja, asal bukan Prabowo. Mungkin inilah yang disebut kompetisi ideologis dalam dunia perpolitikan: siapa paling loyal di hadapan kamera.
Tapi pertanyaannya sederhana: selama ini Maruarar dianggap bukan anak buah Prabowo, atau justru terlalu dekat dengan lingkaran Jokowi? Mungkinkah ini upaya keras untuk ‘rebranding’ agar lebih cocok dengan warna kabinet baru?
Yang jelas, publik butuh kejelasan, bukan kehebohan. Kita tak butuh sinetron politik di saat integritas anggaran rakyat sedang jadi taruhannya. Jika memang ada korupsi, mari tegakkan hukum. Jika tidak, jangan korbankan isu serius jadi bahan pencitraan. Negara ini bukan panggung opera. Dan rakyat bukan penonton yang harus terhibur—mereka butuh keadilan, bukan akting politik.
__________
* Oleh: Rausi Samorano SH. MH (Pembina LBH Forkot)