jatimekspose.com, Sumenep – Skandal baru kembali mencuat di Kabupaten Sumenep. Dugaan penyalahgunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) menyeret nama ratusan perusahaan rokok yang diduga fiktif alias tak berproduksi, namun rutin menerima bantuan sosial (bansos).
Aktivis kritis Farid Gaki menyebut, dari data hasil investigasinya, hanya sekitar 30 persen dari total perusahaan rokok di daratan Sumenep yang benar-benar aktif produksi.
Sisanya diduga hanya mengandalkan izin untuk bermain di bisnis jual-beli pita cukai, dan parahnya, tetap menerima bantuan dari dana negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Hasil investigasi saya, ada ratusan perusahaan rokok dan ribuan karyawan diduga menerima Bansos berupa uang tunai melalui Dinsos yang anggaranya bersumber dari DBHCHT. Pertanyaannya, bagaimana dengan perusahaan yang diduga tidak produksi?” bebernya.
Kecamatan seperti Lenteng, Pasongosongan, dan Bluto tercatat memiliki jumlah perusahaan yang signifikan. Namun, sebagian besar diduga kuat hanya mengandalkan izin produksi dari Bea Cukai untuk mendapatkan pita cukai, bukan menjalankan operasional pabrik sebagaimana mestinya.
“Izin produksi yang didapat dari Bea Cukai hanya dijadikan alat untuk mendapatkan pita cukai, kemudian pita cukai tersebut dijual kembali kepada mafia pita cukai, dengan keuntungan puluhan juta tiap remnya,” kata Farid.
Skema ini sangat merugikan negara dan pemerintah daerah. Farid mendesak Pemkab Sumenep segera berkoordinasi dengan Bea Cukai untuk menggelar sidak besar-besaran.
Langkah Bupati Sumenep yang mem-pending 37 pengajuan izin pabrik baru pun dipuji sebagai langkah cerdas dan berani.
“Saya sangat mendukung langkah tegas Bapak Bupati Sumenep. Kalau dibutuhkan, Farid Gaki siap mengantar atau memberikan info langsung ratusan perusahaan yang tidak produksi tapi rajin menebus pita cukai dan menerima Bansos DBHCHT,” tutupnya.